|
Ibu endut
Tiada cela baginya, pandai otaknya, tinggi sekolahnya, taat
ibadahnya, anggun paras
wajahnya, santun tutur katanya, lembut
suaranya. Pandai benar ia membawa diri. Maka, banyaklah lelaki yang menaruh
hati padanya, mereka berhasrat ingin mempersuntingnya!
Hingga pinangan pernah datang dari juragan kaya. Lelaki dari
seorang yang berpengaruh di masyarakat. Kabarnya, sudah dua tahun berdinas
sebagai kades. Ratna hanya menunduk dan
diam sewaktu Toraja beserta keluarga datang kerumah. Tapi,
bukankah tak menjawab sudah berarti sebuah jawaban? Diam pertanda menerima.
Kehadiran perempuan muda yang dianggap sebuah kegilaan di
pasar Desa, Lombok, tak jauh dari pantai kuta itu adalah sebuah pemandangan
yang luar biasa. Bahkan perkembangan pasar itu sendiri tidak lepas dari peranan
Ratna.
Perempuan berperawakan sedang, tidak kurus tidak pula gemuk
itu. Wajahnya bisa dibilang cantik, tetapi karena kulitnya yang kuning langsat,
sesuatu yang tidak biasa pada perempuan desa itu, menjadikannya agak menarik
dipandang mata. Hanya saja perilakunya terkesan linglung, tak suka bicara
dengan orang dan sulit diajak bercakap-cakap. Hanya kadang-kadang saja ia
menjawab pertanyaan singkat. Dengan mengangguk atau menoleh.
Banyak yang menganggap kecantikan adalah anugrah yang kuasa,
namun sayang hal itu jauh berbeda
padanya, ia mulai ragu dalam memilih. Sedangkan wanita itu hanya perlu
memuaskan hasrat birahi lelaki itu. Namun Ratna menolak. Ia berjanji akan
melanjutkan sekolahnya di Universitas Mataram.
Bukan menggoda laki orang!
Namun itu salah satu faktor makin ramainya pasar itu dengan
orang yang berjualan dan berdagang. Pengajian Ratna setiap subuh dan magrib
dianggap membawa berkah. Ratna sendiri hampir-hampir dianggap sebagai seorang
perempuan suci, walaupun orang juga masih menganggapnya sebagai seorang yang
kurang waras atau aneh, karena perilakunya yang berbeda.
Hingga beberapa orang terkadang menyajikan makanan kepada
Ratna, tentu saja dengan meminta doa agar mereka diberkati dan berpenghasilan
lebih.
Akhir-akhir ini kedua orang tuanya terlihat gelisah atas
perekonomiannya, sedangkan orang-orang menganggap Ratna adalah pembawa rezeki
bagi mereka yang di doakan. Jelas kedua orang tua ini ingin sekali melihat
Ratna menikah dengan pak Kades, namun pak kades pun sudah memliki keluarga yang
mesti di jaga. Dengan kedatangan Ratna maka habislah sudah.
Perempuan itu kembali berdoa
dalam bahasa yang tak dia pahami. Dia tahu itu bahasa sansakerta, tapi karena
dia bukan orang bangsawan, dia jadi menganggap larik-larik do’a itu sebagai
semacam gumam. Sama halnya saat dia mencoba melanjutkan doanya ketika membaca
ayat suci Al Qur’an.
Terkejut ia mencium bau busuk! Bau dari sayur-sayuran wanita
yang tepat berjualan di sebelahnya tepat saat adzan magrib terdengar, ia
melirik-lirik dari tempat ia berkemas. “Kata orang di pasar ia adalah wanita
yang tak tau di untung! Dia adalah pedagang curang, uang yang ia dapatkan di
gunakan judi oleh suaminya, sedangkan anaknya hanya pengangguran dan mati di
bunuh masyarakat dan di kerek-kerek jasadnya karna telah memperkosa anak di
bawah umur”.
“Jangan kau dekati wanita busuk itu Ratna” ujar paman Sodir
sebagai kepala keamanan di pasar.
Namun mata wanita itu masih bergerak-gerak seakan merintih,
sekali lagi Ratna melirik-lirik. Wanita itu terdiam, tak ada nafas yang
menggeser jemarinya, tak ada degup jantung yang menghampiri telinga wanita suci
namun hanya bau busuk yang menjadi – jadi.
Hingga pada akhirnya Ratna terpental dan berteriak pada
wanita busuk itu. Pasar pun bagaikan gula yang dikerumuni semut. Tak ada ruang
bagi mereka. Wajah – wajah itu menerka-nerka sedangkan Ratna merasa ketakutan
setengah mati, matanya masih melototi Ratna, tangan nya mengkeriput dan
tubuhnya memucat. Hingga pada pemakamannya tak ada sanak saudara yang
menginginkan wanita itu.
Pagi itu, Ratna berangkat menuju kota. sepanjang hari,
seperti biasanya. Gabah dan Tembakau juga sudah masa panen, tapi itu akan
dikerjakan ayahnya yang nanti akan menyusul setelah menyelesaikan ladang pada
bulan maret.
“Namun aku
sendirian dalam kenangan itu. Hanya sendiri. Suamiku lima tahun lalu telah
kembali pada sang khaliq. Ia mungkin bahagia di sana, dan tengah menantiku.
Kami memang tidak pernah saling mencintai selama ia hidup, tapi kini aku merasa
hanya padanya aku ingin pulang, pulang pada suami ku.”
Ya... Ratna, wanita yang meratap menjadi seorang guru sekolah
dasar di samping rumahku, ia menikahi seorang pengacara handal. Terkenal
suaminya adalah juara di persidangan dan papan catur. Kenangan itu masih ku
ingat, umurku yang hanya seumur jagung menantang seorang Grand Master beradu
ketangkasan di sebuah papan catur, terlihat papan itu di ukirnya sendiri.
Bertuliskan nama beliau dan pion-pion yang terukir dengan giok, batu murni yang
berwanna hijau dan coklat.
Ditambah lagi kedua anaknya telah menikah, yang pertama
adalah Qiki dan Ari, mereka adalah orang yang hebat. Ari adalah anak lulusan
design grafis dan Qiki menikah setelah menyelesaikan sekolah di Universitas Mataram.
Keluarga mereka semakin lengkap saat cucu Ratna lahir. Ya
anak pertama dari Ari Sukra, disana lengkaplah sudah kebahagiaan mereka. Seakan
wajah mereka selalu cerah bagaikan mentari pagi di pantai kuta.
Saat kami bercakap ketiga anaknya kembali, wajah-wajah itu
bersinar-sinar namun meredup saat bapaknya diberitakan meninggal. Almarhum
dikabarkan meninggal saat bertanding di sebuah turnamen, hal itu jelas membuat
Ratna menjadi sedih. Suami yang selau ada di saat ia merasa di tinggal oleh ke
tiga anaknya yang telah berkeluarga.
Di setiap paginya aku melihat halaman itu bersih dari
dedaunan, tidak!! Hanya suara isak tangis yang tersisa. Dan di sorenya saudara-saudara
meneriakan lantunan doanya. Memohon sang Esa memberikan kemudahan pada almarhum
pak Mujiman.
Saat itu juga Ratna dipindah kerjakan ke SMK dan mulai
menjalani hidup yang tertunda, sekarang ia hidup berdua dengan anak sulungnya.
Anjo, perawakan sedang bertubuh langsing dengan rambut yang panjang, duhai
cantik sekali wanita itu.
Dalam kegalutannya tak terlihat ia adalah wanita pasar itu,
Ratna sekarang sering di panggil-panggil dengan sebutan Bu Endut. Panggilan itu
bukan berasal dari sebuah pelang nama atau stempel perusahaan namun tubuhnya
yang membuntal.
Namun ia adalah sosok yang ceria, selain pintar olah vokal
Ratna juga mengajar anak-anak yang kurang mampu. Walau hanya sekedar membaca,
setidaknya Ratna bisa menyembunyikan kerinduan pada almarhum.
Masalah berawal dari perceraian anak keduanya Qiki! Suaminya
bertekad dalam pemilihan bupati Loteng. Awalnya terlihat baik namun karna Qiki
juga memiliki perbedaan pendapat dengan sang suami maka mereka pun bercerai. Di
sana Qiki memenangkan hak asuh atas dua anaknya.
Hal ini tambah mempersulit keadaan, “bukan materi yang mesti
di fikirkan, bukan kepercayaan atas logo-logo pemilu, bukan karna kalian
berbeda golongan! Kalian menelantarkan anak kalian! Kalian memang tak akan
menyesal sekarang tapi nanti, hingga salah satu dari kalian mati!” ujar Ratna.
Qiki saat itu berlari dan memeluk ibu ku! Kami bertetangga
sejak tahun1994. Kurasa mereka adalah keluarga, dan meraka pun begitu. Walau
keluarga ku berasal dari daratan cina. Aku tau aku dan dia anak Adam.
Sekarang anaknya menjanda, ia merasa kesulitan dengan anaknya
hingga ia menitipkan ke ibunya, Ratna! Dirumah itu yang dulunya ramai, sekarang
mulai sepi, Ratna yang sudah menua berjuang merawat anak dan kedua cucunya.
Orang-orang di sekitar pun mulai ramai menasehatinya agar
Ratna mencari suami. Mereka bilang dengan adanya suami, tangisnya akan
berhenti. Ide yang masuk akal. Aku pun mulai melirik kiri kanan untuk mencari
sosok yang tepat untuk beliau.
Beberapa pemuda lajang datang bertandang. Ada yang berambut
keriting. Ada pula yang berdada sempit. “Jangan bersuamikan pria yang punya
rambut keriting karena bersifat banyak akal dalam berdusta. Jangan pula
bersuamikan pria berdada sempit karena ia tak akan bisa menangis didada itu.
Begitu argumen-argumen yang ku telaah dari sebuah buku. Aku mencari seorang
pria berdada bidang. Dengan dada yang bidang, aku yakin, seorang pria bisa
menampung segala keluh kesahnya. Dekapannya akan serasa seperti mata air yang
menyejukkan di padang safana. Ya, dada itu akan aku gunakan sebagai pengganti
dada suaminya.
Tapi tidak sepemikiran dengan ku atau orang lain. Ratna tetap
menjalaninya sendiri, “banyak anak banyak rezeki” ujarnya, sekarang ibu dari
tiga anak itu merencanakan suatu fase perubahan.
Mulai dari mendekorasi rumah hingga menjadi seorang pengajar
di sebuah SMK, di SMK ia menjadi guru BK. Setidaknya masalah keluarga tak mesti
mengimbaskan masalah keluarga ke sekolah atau sebagainya. Profesionalisme
sepertinya sudah ia dapatkan saat di pasar.
Namun beliau geram jika melihat orang yang memainkan catur,
beliau juga tak mengijinkan anak dan cucu mereka memainkan permainan itu. Hal
itu di sebabkan karena tak ada yang mati di tempat yang sama.
Aku mengetahui hal ini saat aku bertamu membantu mendekor
rumah itu diam-diam aku mengorek-orek meja kerjanya. Kertas-kertas kerjanya
kuamati satu per satu dari ujung ke ujung. Aku takut ada sepotong guratan yang
terlewat dari pandangan mataku. Laci-laci mejanya aku periksa dengan saksama.
Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun di bagian lain aku melihat ruangan
yang gelap! Saat aku memasukinya ada yang mengganjal di kaki ku. Itu anak papan
catur almarhum, terjatuh dari atas lemari kaca di ruangan yang gelap, saat
lampu ku nyalakan piala-piala itu berserakan. Kamar itu hitam putih seperti
meja yang berada di halaman depan.
Jangan tanya padaku bagaimana pedihnya hatiku waktu itu,
karena tangisku pun tak mampu membuat sesak di dadaku sirna setelah melihat
begitu banyak penghargaan tak bertuah. Dengan iri aku mengaku bahwa di hati itu
telah bersemayam sosok lain.
Namun Ratna kurasa tak pantas melakukan ini, sampai anak keduanya
datang mengambil anak pion dan menaruhnya kembali keatas dek catur. Di sana dia
meletakan catur itu dengan angan “ayah pasti senang jika dapat bertemu dengan lawan-lawan
yang lebih hebat di sana” paras yang cantik itu berujar.
”Apa benar wanita adalah sosok yang lemah?” tanya_aku
“Jika aku di takdirkan seperti ibuku, lahir di keluarga
miskin aku pun telah menangis tiga hari tiga malam tanpa berhenti. Aku dan ibuku
sama saja. Sama-sama merasakan kepedihan yang amat sangat karena tak bisa
membahagiakan suami tercinta. Bedanya kalau ibuku kemudian sakit-sakitan dan
meninggalkan dunia ini dengan senyum di bibirnya, sedangkan aku lebih senang
berdebat dengan para petinggi yang berlaku biadap dan tak becus mengurus Negeri
ini. Menghanyutkan kesedihanku dengan mencari kesejukan dengan mendekap kedua
anak_ku dan bukan di dada-dada bidang pria-pria berhidung belang. Seperti Saleh,
aku lebih baik mencari-cari oasis di padang tandus yang bernama politik.”
jawabnya
Pernah aku melihat ia meludahi lelaki dewasa yang memaksa
menaiki mobil mewah. Lalu aku cerita ke Abangnya apa adanya. Abangnya marah
besar. Begitu pula orang-orang banyak memarahi aku.
Sejak itu aku tidak boleh keluar rumah, tak boleh pula
bermain di halaman. Tapi aku tidak mau, aku tetap ingin bermain di luar, dan
lagi-lagi lelaki dewasa yang tak kukenal datang kali ini terlihat tenang. Para
warga tak akan heran mengapa seperti ini, dari garis keturunan Ratna tidak ada
kurangnya. Hingga aku mesti bertanya pada ibu kalau dia juga manusia yang di
lahirkan nabi adam bukan dari bidadari atau renkarnasi putri Mandalika.
Kali ini aku melihat Ratna duduk di meja makan bersama kedua
cucunya, sepertinya meminum vitamin. Hingga ia menawariku minum, tak ku tolak
tawarannya. Di keningnya terlihat jelas Ratna bukan wanita muda, namun terlihat
ketegaran mereka yang membalikan sudut pandang ku jika wanita bukan mahluk
lemah.
Jika kudengar maka aku akan meludahi pakaian mereka, jika
mereka masih bergemih akan ku ludahi mata mereka satu persatu.
Di setiap selesai solat magrib, rumah Ratna mulai ramai.
Anak-anak jalanan yang selesai menjajakan makanan dan jasanya berkumpul dengan
buku dan pensil murah yang di gigit-gigit karna tidak ada rautan pensil.
Anak-anak itu berpakaian kucel, ku amati mereka di depan
rumahnya. Suara mereka terdengar “deso”.
Hahaha.. kalimat yang lucu jika Ratna melanjutkan “Ratna anak
deso”.
Dua sampai tiga bulan anak-anak itu semakin banyak, suara
mereka semakin ramai. Sampai anak dan cucunya mesti mengungsi ke rumah tetangga
sampai anak-anak itu selesai menulis dan membaca.
Hingga Ratna sekarang jatuh sakit, beliau adalah wanita yang
menjadi inspirasi ku dalam berkarya. Tanpa kehadiran beliau aku merasa tak bisa
menghadapi persaingan di dunia luar. Dan beliau akan menjadi toladan bagi jiwa
besarku. Semoga dengan doa beliau aku bisa menjadi Duta Besar.
By ARTHA WINATA