Translate

Rabu, 18 Juli 2012

Ibuuu EnnNduttTtt



Ibu endut
Tiada cela baginya, pandai otaknya, tinggi sekolahnya, taat ibadahnya, anggun paras wajahnya, santun tutur katanya, lembut suaranya. Pandai benar ia membawa diri. Maka, banyaklah lelaki yang menaruh hati padanya, mereka berhasrat ingin mempersuntingnya!
Hingga pinangan pernah datang dari juragan kaya. Lelaki dari seorang yang berpengaruh di masyarakat. Kabarnya, sudah dua tahun berdinas sebagai kades. Ratna  hanya menunduk dan diam sewaktu Toraja beserta keluarga datang kerumah. Tapi, bukankah tak menjawab sudah berarti sebuah jawaban? Diam pertanda menerima.
Kehadiran perempuan muda yang dianggap sebuah kegilaan di pasar Desa, Lombok, tak jauh dari pantai kuta itu adalah sebuah pemandangan yang luar biasa. Bahkan perkembangan pasar itu sendiri tidak lepas dari peranan Ratna.
Perempuan berperawakan sedang, tidak kurus tidak pula gemuk itu. Wajahnya bisa dibilang cantik, tetapi karena kulitnya yang kuning langsat, sesuatu yang tidak biasa pada perempuan desa itu, menjadikannya agak menarik dipandang mata. Hanya saja perilakunya terkesan linglung, tak suka bicara dengan orang dan sulit diajak bercakap-cakap. Hanya kadang-kadang saja ia menjawab pertanyaan singkat. Dengan mengangguk atau menoleh.
Banyak yang menganggap kecantikan adalah anugrah yang kuasa, namun sayang hal itu jauh  berbeda padanya, ia mulai ragu dalam memilih. Sedangkan wanita itu hanya perlu memuaskan hasrat birahi lelaki itu. Namun Ratna menolak. Ia berjanji akan melanjutkan  sekolahnya di Universitas Mataram. Bukan menggoda laki orang!
Namun itu salah satu faktor makin ramainya pasar itu dengan orang yang berjualan dan berdagang. Pengajian Ratna setiap subuh dan magrib dianggap membawa berkah. Ratna sendiri hampir-hampir dianggap sebagai seorang perempuan suci, walaupun orang juga masih menganggapnya sebagai seorang yang kurang waras atau aneh, karena perilakunya yang berbeda.
Hingga beberapa orang terkadang menyajikan makanan kepada Ratna, tentu saja dengan meminta doa agar mereka diberkati dan berpenghasilan lebih.
Akhir-akhir ini kedua orang tuanya terlihat gelisah atas perekonomiannya, sedangkan orang-orang menganggap Ratna adalah pembawa rezeki bagi mereka yang di doakan. Jelas kedua orang tua ini ingin sekali melihat Ratna menikah dengan pak Kades, namun pak kades pun sudah memliki keluarga yang mesti di jaga. Dengan kedatangan Ratna maka habislah sudah.
Perempuan itu kembali  berdoa dalam bahasa yang tak dia pahami. Dia tahu itu bahasa sansakerta, tapi karena dia bukan orang bangsawan, dia jadi menganggap larik-larik do’a itu sebagai semacam gumam. Sama halnya saat dia mencoba melanjutkan doanya ketika membaca ayat suci Al Qur’an.
Terkejut ia mencium bau busuk! Bau dari sayur-sayuran wanita yang tepat berjualan di sebelahnya tepat saat adzan magrib terdengar, ia melirik-lirik dari tempat ia berkemas. “Kata orang di pasar ia adalah wanita yang tak tau di untung! Dia adalah pedagang curang, uang yang ia dapatkan di gunakan judi oleh suaminya, sedangkan anaknya hanya pengangguran dan mati di bunuh masyarakat dan di kerek-kerek jasadnya karna telah memperkosa anak di bawah umur”.
“Jangan kau dekati wanita busuk itu Ratna” ujar paman Sodir sebagai kepala keamanan di pasar.
Namun mata wanita itu masih bergerak-gerak seakan merintih, sekali lagi Ratna melirik-lirik. Wanita itu terdiam, tak ada nafas yang menggeser jemarinya, tak ada degup jantung yang menghampiri telinga wanita suci namun hanya bau busuk yang menjadi – jadi.
Hingga pada akhirnya Ratna terpental dan berteriak pada wanita busuk itu. Pasar pun bagaikan gula yang dikerumuni semut. Tak ada ruang bagi mereka. Wajah – wajah itu menerka-nerka sedangkan Ratna merasa ketakutan setengah mati, matanya masih melototi Ratna, tangan nya mengkeriput dan tubuhnya memucat. Hingga pada pemakamannya tak ada sanak saudara yang menginginkan wanita itu.
Pagi itu, Ratna berangkat menuju kota. sepanjang hari, seperti biasanya. Gabah dan Tembakau juga sudah masa panen, tapi itu akan dikerjakan ayahnya yang nanti akan menyusul setelah menyelesaikan ladang pada bulan maret.
“Namun aku sendirian dalam kenangan itu. Hanya sendiri. Suamiku lima tahun lalu telah kembali pada sang khaliq. Ia mungkin bahagia di sana, dan tengah menantiku. Kami memang tidak pernah saling mencintai selama ia hidup, tapi kini aku merasa hanya padanya aku ingin pulang, pulang pada suami ku.”
Ya... Ratna, wanita yang meratap menjadi seorang guru sekolah dasar di samping rumahku, ia menikahi seorang pengacara handal. Terkenal suaminya adalah juara di persidangan dan papan catur. Kenangan itu masih ku ingat, umurku yang hanya seumur jagung menantang seorang Grand Master beradu ketangkasan di sebuah papan catur, terlihat papan itu di ukirnya sendiri. Bertuliskan nama beliau dan pion-pion yang terukir dengan giok, batu murni yang berwanna hijau dan coklat.
Ditambah lagi kedua anaknya telah menikah, yang pertama adalah Qiki dan Ari, mereka adalah orang yang hebat. Ari adalah anak lulusan design grafis dan Qiki menikah setelah menyelesaikan sekolah di Universitas Mataram.
Keluarga mereka semakin lengkap saat cucu Ratna lahir. Ya anak pertama dari Ari Sukra, disana lengkaplah sudah kebahagiaan mereka. Seakan wajah mereka selalu cerah bagaikan mentari pagi di pantai kuta.
Saat kami bercakap ketiga anaknya kembali, wajah-wajah itu bersinar-sinar namun meredup saat bapaknya diberitakan meninggal. Almarhum dikabarkan meninggal saat bertanding di sebuah turnamen, hal itu jelas membuat Ratna menjadi sedih. Suami yang selau ada di saat ia merasa di tinggal oleh ke tiga anaknya yang telah berkeluarga.
Di setiap paginya aku melihat halaman itu bersih dari dedaunan, tidak!! Hanya suara isak tangis yang tersisa. Dan di sorenya saudara-saudara meneriakan lantunan doanya. Memohon sang Esa memberikan kemudahan pada almarhum pak Mujiman.
Saat itu juga Ratna dipindah kerjakan ke SMK dan mulai menjalani hidup yang tertunda, sekarang ia hidup berdua dengan anak sulungnya. Anjo, perawakan sedang bertubuh langsing dengan rambut yang panjang, duhai cantik sekali wanita itu.
Dalam kegalutannya tak terlihat ia adalah wanita pasar itu, Ratna sekarang sering di panggil-panggil dengan sebutan Bu Endut. Panggilan itu bukan berasal dari sebuah pelang nama atau stempel perusahaan namun tubuhnya yang membuntal.
Namun ia adalah sosok yang ceria, selain pintar olah vokal Ratna juga mengajar anak-anak yang kurang mampu. Walau hanya sekedar membaca, setidaknya Ratna bisa menyembunyikan kerinduan pada almarhum.
Masalah berawal dari perceraian anak keduanya Qiki! Suaminya bertekad dalam pemilihan bupati Loteng. Awalnya terlihat baik namun karna Qiki juga memiliki perbedaan pendapat dengan sang suami maka mereka pun bercerai. Di sana Qiki memenangkan hak asuh atas dua anaknya.
Hal ini tambah mempersulit keadaan, “bukan materi yang mesti di fikirkan, bukan kepercayaan atas logo-logo pemilu, bukan karna kalian berbeda golongan! Kalian menelantarkan anak kalian! Kalian memang tak akan menyesal sekarang tapi nanti, hingga salah satu dari kalian mati!” ujar Ratna.
Qiki saat itu berlari dan memeluk ibu ku! Kami bertetangga sejak tahun1994. Kurasa mereka adalah keluarga, dan meraka pun begitu. Walau keluarga ku berasal dari daratan cina. Aku tau aku dan dia anak Adam.
Sekarang anaknya menjanda, ia merasa kesulitan dengan anaknya hingga ia menitipkan ke ibunya, Ratna! Dirumah itu yang dulunya ramai, sekarang mulai sepi, Ratna yang sudah menua berjuang merawat anak dan kedua cucunya.
Orang-orang di sekitar pun mulai ramai menasehatinya agar Ratna mencari suami. Mereka bilang dengan adanya suami, tangisnya akan berhenti. Ide yang masuk akal. Aku pun mulai melirik kiri kanan untuk mencari sosok yang tepat untuk beliau.
Beberapa pemuda lajang datang bertandang. Ada yang berambut keriting. Ada pula yang berdada sempit. “Jangan bersuamikan pria yang punya rambut keriting karena bersifat banyak akal dalam berdusta. Jangan pula bersuamikan pria berdada sempit karena ia tak akan bisa menangis didada itu. Begitu argumen-argumen yang ku telaah dari sebuah buku. Aku mencari seorang pria berdada bidang. Dengan dada yang bidang, aku yakin, seorang pria bisa menampung segala keluh kesahnya. Dekapannya akan serasa seperti mata air yang menyejukkan di padang safana. Ya, dada itu akan aku gunakan sebagai pengganti dada suaminya.
Tapi tidak sepemikiran dengan ku atau orang lain. Ratna tetap menjalaninya sendiri, “banyak anak banyak rezeki” ujarnya, sekarang ibu dari tiga anak itu merencanakan suatu fase perubahan.
Mulai dari mendekorasi rumah hingga menjadi seorang pengajar di sebuah SMK, di SMK ia menjadi guru BK. Setidaknya masalah keluarga tak mesti mengimbaskan masalah keluarga ke sekolah atau sebagainya. Profesionalisme sepertinya sudah ia dapatkan saat di pasar.
Namun beliau geram jika melihat orang yang memainkan catur, beliau juga tak mengijinkan anak dan cucu mereka memainkan permainan itu. Hal itu di sebabkan karena tak ada yang mati di tempat yang sama.
Aku mengetahui hal ini saat aku bertamu membantu mendekor rumah itu diam-diam aku mengorek-orek meja kerjanya. Kertas-kertas kerjanya kuamati satu per satu dari ujung ke ujung. Aku takut ada sepotong guratan yang terlewat dari pandangan mataku. Laci-laci mejanya aku periksa dengan saksama. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Namun di bagian lain aku melihat ruangan yang gelap! Saat aku memasukinya ada yang mengganjal di kaki ku. Itu anak papan catur almarhum, terjatuh dari atas lemari kaca di ruangan yang gelap, saat lampu ku nyalakan piala-piala itu berserakan. Kamar itu hitam putih seperti meja yang berada di halaman depan.
Jangan tanya padaku bagaimana pedihnya hatiku waktu itu, karena tangisku pun tak mampu membuat sesak di dadaku sirna setelah melihat begitu banyak penghargaan tak bertuah. Dengan iri aku mengaku bahwa di hati itu telah bersemayam sosok lain.

Namun Ratna kurasa tak pantas melakukan ini, sampai anak keduanya datang mengambil anak pion dan menaruhnya kembali keatas dek catur. Di sana dia meletakan catur itu dengan angan “ayah pasti senang jika dapat bertemu dengan lawan-lawan yang lebih hebat di sana” paras yang cantik itu berujar.
”Apa benar wanita adalah sosok yang lemah?” tanya_aku
“Jika aku di takdirkan seperti ibuku, lahir di keluarga miskin aku pun telah menangis tiga hari tiga malam tanpa berhenti. Aku dan ibuku sama saja. Sama-sama merasakan kepedihan yang amat sangat karena tak bisa membahagiakan suami tercinta. Bedanya kalau ibuku kemudian sakit-sakitan dan meninggalkan dunia ini dengan senyum di bibirnya, sedangkan aku lebih senang berdebat dengan para petinggi yang berlaku biadap dan tak becus mengurus Negeri ini. Menghanyutkan kesedihanku dengan mencari kesejukan dengan mendekap kedua anak_ku dan bukan di dada-dada bidang pria-pria berhidung belang. Seperti Saleh, aku lebih baik mencari-cari oasis di padang tandus yang bernama politik.” jawabnya
Pernah aku melihat ia meludahi lelaki dewasa yang memaksa menaiki mobil mewah. Lalu aku cerita ke Abangnya apa adanya. Abangnya marah besar. Begitu pula orang-orang banyak memarahi aku.
Sejak itu aku tidak boleh keluar rumah, tak boleh pula bermain di halaman. Tapi aku tidak mau, aku tetap ingin bermain di luar, dan lagi-lagi lelaki dewasa yang tak kukenal datang kali ini terlihat tenang. Para warga tak akan heran mengapa seperti ini, dari garis keturunan Ratna tidak ada kurangnya. Hingga aku mesti bertanya pada ibu kalau dia juga manusia yang di lahirkan nabi adam bukan dari bidadari atau renkarnasi putri Mandalika.
Kali ini aku melihat Ratna duduk di meja makan bersama kedua cucunya, sepertinya meminum vitamin. Hingga ia menawariku minum, tak ku tolak tawarannya. Di keningnya terlihat jelas Ratna bukan wanita muda, namun terlihat ketegaran mereka yang membalikan sudut pandang ku jika wanita bukan mahluk lemah.
Jika kudengar maka aku akan meludahi pakaian mereka, jika mereka masih bergemih akan ku ludahi mata mereka satu persatu.

Di setiap selesai solat magrib, rumah Ratna mulai ramai. Anak-anak jalanan yang selesai menjajakan makanan dan jasanya berkumpul dengan buku dan pensil murah yang di gigit-gigit karna tidak ada rautan pensil.
Anak-anak itu berpakaian kucel, ku amati mereka di depan rumahnya. Suara mereka terdengar “deso”.
Hahaha.. kalimat yang lucu jika Ratna melanjutkan “Ratna anak deso”.
Dua sampai tiga bulan anak-anak itu semakin banyak, suara mereka semakin ramai. Sampai anak dan cucunya mesti mengungsi ke rumah tetangga sampai anak-anak itu selesai menulis dan membaca.
Hingga Ratna sekarang jatuh sakit, beliau adalah wanita yang menjadi inspirasi ku dalam berkarya. Tanpa kehadiran beliau aku merasa tak bisa menghadapi persaingan di dunia luar. Dan beliau akan menjadi toladan bagi jiwa besarku. Semoga dengan doa beliau aku bisa menjadi Duta Besar.

By ARTHA WINATA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar